Tulisan dalam blog ini saya buat karena saya tidak puas akan jawaban yang saya peroleh sehubungan dengan penjelasan Alkitab. Menurut saya terlalu klise, dan tidak menyentuh isi yang sesungguhnya. Karena itu saya memutuskan untuk mencari dan merenungkannya sendiri, berbekal akal budi dan dengan memohon bimbingan dari Roh kudus yang bersemayam dalam hati setiap orang yang percaya kepada Kristus.
Tulisan di sini bukan saya buat dengan gegabah, tapi lewat proses perenungan yang cukup panjang dan selalu berusaha untuk selalu berhati-hati dan tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan. Saya berharap ini akan menjadi wacana saja. Sebelum membaca ada baiknya mengosongkan/kesampingkan diri terlebih dahulu dari segala doktrin dan mindset yang sudah tertanam dan membuka hati untuk mencoba mengerti. Kalau dari awal sudah memasang sikap penolakan, maka tidak akan ada guna membacanya. Bacalah dengan hati dan akal budi, bukan hanya dengan salah satunya. Tidak ada ruginya untuk mencoba mengerti, anda tidak harus meyakininya, it’s your choice!
Dalam Perjanjian baru, Yesus banyak menggunakan perumpamaan dalam memberikan ajaranNya (kecuali kepada murid-muridNya). Ada dua alasan yang saya bisa tangkap, kenapa di gunakan perumpamaan :
One way out of the problem is to say that God is not like human beings and human beings get in a mess when they try to describe God using the same sort of language and understanding that they use to describe other human beings. But human beings don’t have any other language available, so they have to do the best that they can with it. That’s fine, as long as they remember that the whole truth of the nature of God is simply beyond them.
Dunia Allah/Surgawi adalah dunia Roh, keterbatasan manusia dalam berusaha memahaminya adalah karena manusia selalu menggunakan acuan/patokan manusiawi. Ketika menggambarkan sorga atau Roh, manusia cenderung untuk membayangkan kenikmatan yang di kenalnya dan keindahan yang sifatnya masih duniawi dan manusiawi. Tapi Allah tidak manusiawi, Sorga tidak duniawi. Dia lebih dari manusiawi dan duniawi. Dan sulit bagi manusia untuk berpikir secara Ilahi. Adalah kewajiban kita untuk menggali sifat Ilahi dalam diri dan tidak terbelenggu oleh sifat manusiawi saja. Menempatkan sesuatu arti pada tempatnya bukanlah berarti bermaksud menghujat, atau mengurangi ke besaranNya, tapi melihat sesuatu dengan jernih tanpa bias sehingga tidak tertipu oleh euphoria palsu.
Discussion
No comments yet.